Buku bajakan terus saja dengan mudah kita temui keberadaannya dijual secara daring. Banyak penulis sudah sering menyuarakan protes terhadap maraknya penjualan buku bajakan di marketplace. Sejumlah nama-nama tersebut adalah penulis-penulis yang ternama dan produktif seperti Eka Kurniawan, Jombang Santani Khairen, dan Darwis, atau yang lebih dikenal dengan nama pena Tere Liye. Mereka juga terus menghimbau para pembaca untuk hanya membeli buku original, baik itu buku fisik maupun buku digital, demi terus mendukung industri literasi di Indonesia agar tidak kolaps.
Pihak marketplace yang ditegur secara langsung pun sering kali bersikap abai dan menganggap hal ini bukanlah isu yang penting untuk ditangani. Tindakan paling jauh yang mereka lakukan adalah dengan menutup toko-toko yang dilaporkan dan memang terbukti menjual buku bajakan. Namun, sifat dari pembajakan buku sama seperti rambut runcing karakter Peeply Lulu di serial One Piece arc Enies Lobby: ditekan di depan mencuat ke belakang, di tekan di belakang mencuat ke samping. Penutupan toko satu per satu adalah tindakan yang sama sekali tidak menyelesaikan akar permasalahannya.
Selain itu, pelaku pembajakan buku juga nampaknya sangat sadar bahwa pembaca mulai memahami ciri-ciri buku bajakan. Maka mereka dengan kreatif selalu beradaptasi dan membuat kondisi-kondisi baru yang membuat bingung para calon pembeli. Kondisi ini mau tidak mau menuntut kita sebagai calon pembeli untuk selalu mengedukasi diri sendiri.

Mengenali buku bajakan secara fisik dengan mata kepala sendiri, mungkin tidak lagi hal yang sulit karena sudah banyak sekali edukasi terkait hal itu. Namun, bagaimana membedakan buku bajakan dengan buku original di marketplace ketika kita tidak bisa melihat kertasnya, meraba kualitas sampulnya, dan membaca kualitas cetaknya?
Nah, berikut ini adalah tujuh ciri-ciri buku bajakan yang perlu kita ingat-ingat ketahui agar dapat terhindar dari membeli buku bajakan di marketplace secara tidak sengaja. Aku sertakan juga beberepa poin pengecualian, agar ciri-ciri berikut ini tidak ditelan mentah-mentah menjadi patokan yang sangat baku.
Harga Terlalu Murah
Untuk sebuah buku original dalam kondisi baru, wajarnya tidak akan terdapat perbedaan harga yang terlalu jauh antara satu toko dengan toko lainnya. Harga yang diberikan oleh toko resmi penerbit dengan harga toko reseller pun tidak akan berjarak begitu jauh, biasanya hanya beberapa ribu rupiah. Maka, jika ada satu judul buku yang katanya baru namun dijual dengan harga jauh lebih murah dari harga pasaran, kamu patut mencurigainya.
Namun, jangan segera mengira jika buku baru dijual murah artinya bajakan. Beberapa buku dijual lebih murah dari harga aslinya karena memang sudah masuk ke dalam daftar buku-buku diskon/sale atau memang sedang ada event tertentu seperti 9.9, 10.10, 11.11, dan sederet nomor cantik lainnya. Perlu diketahui juga bahwa buku dengan harga murah mungkin juga adalah buku bekas/preloved.
Beberapa buku bekas yang dijual di marketplace masih terlihat seperti baru karena begitu dijaga oleh pemilik sebelumnya. Maka, membaca deskripsi produk dan menghubungi penjual via chat juga dapat kamu lakukan untuk memastikan apakah buku yang kamu temukan murah tersebut adalah buku sale, preloved, atau jangan-jangan bajakan.
Baca juga: Pandemi: Media vs. Buku
Tidak Menyertakan Gambar Fisik Buku
Toko buku di marketplace tentu memajang foto buku yang dijualnya agar mudah dikenali oleh calon pembeli. Namun, terkadang toko buku bajakan tidak memajang foto fisik buku yang dijualnya, alih-alih mereka hanya memasang gambar digital desain sampul buku tersebut.
Hal ini dikarenakan banyak penjual buku bajakan tidak benar-benar memiliki stok fisik buku yang mereka jual. Mereka baru akan mencetak buku dari file digital – biasanya dalam bentuk .pdf – ketika proses pemesanan sudah dilakukan oleh pembeli.
Selain karena tidak memiliki stok, toko buku yang menjual buku bajakan juga sadar bahwa kualitas sampul buku yang dijualnya berbeda dari buku original, seperti kecerahan warna dan ada atau tidaknya emboss pada tulisan judul. Banyak pembaca sudah paham dan lebih teliti melihat sampul buku sebelum membeli. Maka, untuk menghindari itu, pelaku pembajakan buku akan memasang gambar digital sampul buku tersebut alih-alih foto bukunya.

Menggunakan Istilah Ambigu
Penjual buku bajakan tidak pernah mau mengklaim buku jualannya sebagai buku original karena itu akan menipu pembeli. Pembeli yang tertipu tentu akan memberi rating buruk dan akan berpengaruh terhadap penjualan berikutnya. Namun mereka juga tidak ingin terang-terangan menyatakan buku jualannya sebagai buku bajakan karena mereka sadar bahwa pembajakan buku adalah hal yang salah dan hal itu akan menjauhkan calon konsumen.
Maka, mereka melakukan taktik licik untuk menengahi masalah tersebut dengan memanfaatkan ketidaktahuan calon pembeli, yaitu menggunakan istilah-istilah yang jarang dipakai dan bahkan membuah istilah baru untuk memperhalus kata ‘bajakan’. Keterangan ini biasanya disertakan di kolom deskripsi produk bersamaan dengan sinopsis cerita atau syarat pembelian.
Beberapa istilah yang biasa digunakan saat ini oleh penjual buku bajakan yaitu: “repro,” “reprint,” “replika,” “non ori,” “setara ori,” “premium,” “self printed,” dan istilah-istilah lain yang mungkin saja besok baru muncul.
Deskripsi Terlalu Detail
Selain penghalusan kata pembajakan menjadi istilah-istilah di atas, penjual buku bajakan biasanya juga menyertakan deskripsi-deskripsi kelewat rinci yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Detail yang terlalu banyak tersebut terlihat seperti berupaya sekeras mungkin untuk meyakinkan calon pembeli bahwa kualitas bukunya ‘bagus.’
Beberapa detail teknis percetakan yang biasa disertakan di kolom deskripsi buku bajakan adalah:
-Menggunakan kertas bookpaper (atau jenis kertas lainnya seperti kertas buram)
-Bukan fotocopy
-Dicetak sendiri
-Tulisan terbaca jelas
-Kualitas print laser
-Jilidan super kuat
Masih banyak lagi istilah-istilah yang mungkin akan muncul di kemudian hari, seperti yang terjadi pada eufemisme istilah ‘bajakan.’ Namun, satu hal yang perlu diingat, detail-detail tersebut tidak akan pernah kamu temukan di situs atau toko resmi penerbit, karena mereka tidak berlu berupaya keras untuk meyakinkan calon pembeli akan kualitas buku yang mereka jual.

Baca juga: Alasan Buku Menguning dan Cara Memperlambat Prosesnya
“Bisa request judul”
Ini adalah red flag terbesar. Jika kamu menemukan kalimat tersebut, atau kalimat lainnya yang menyatakan mereka bisa mencetak judul apapun yang kamu mau, maka tinggalkan toko tersebut. Bisa dipastikan toko tersebut menjual buku bajakan.
Bisa request judul menandakan bahwa toko tersebut tidak memiliki stok cetak, dan hanya memiliki stok file digital. Sehingga saat kamu menanyakan judul tertentu, di pembajak buku akan mencarinya dulu di “gudang digital” mereka, alias komputer atau laptop. Toko buku yang menjual buku original tidak akan mengatakan hal tersebut karena semua buku yang mereka pasti sudah mereka post di marketplace tersebut, dan jika stoknya habis maka harus menunggu restock terlebih dahulu.
Stok buku tidak masuk akal
Di penerbitan besar, satu judul biasa dicetak 3000 eksemplar dalam sekali periode cetak. Jumlah cetak bisa lebih banyak kalo buku tersebut adalah best seller. Tapi, ribuan copy itu tidak mungkin menumpuk di satu toko yg sama, pasti didistribusikan ke berbagai toko buku yang menjadi relasi mereka. Penerbit independen bahkan biasanya mencetak buku dalam jumlah yang lebih sedikit lagi dalam sekali periode cetak. Jadi, logikanya, jika ada satu toko memiliki stok untuk satu judul buku sejumlah ratusan saja itu sudah sangat istimewa. Biasanya itu hanya terjadi di toko official seperti Gramedia atau Mizan store.

Dikirim dari Jogja
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jogja masih memegang posisi nomor satu untuk daerah yg punya percetakan berkualitas bagus. Jogja juga memiliki sejarah sendiri perihal pembajakan buku. Yaitu pada masa-masa pergerakan mahasiswa Jogja di era Orde Baru ketika akses buku-buku pemikiran kritis menjadi sulit, banyak pihak yang akhirnya belajar mencetak buku secara sembunyi-sembunyi agar tetap bisa membaca buku yang sudah dilarang beredar.
Maka bisa dibilang, Jogja sudah terlatih dalam perihal cetak-mencetak buku. Tidak heran banyak penerbit besar yang memiliki percetakan di Jogja, walaupun kantornya berada di Jakarta. Oleh karena itu, aku pribadi akan meningkatkan kehati-hatian ketika menemukan toko buku yang berdomisili di Jogja saat belanja di markeplace.
Meskipun begitu, perlu diingat juga bahwa banyak penerbit ternama seperti Mojok dan Bentang Pustaka – yang tentu saja menjual buku original – juga mencetak buku di Jogja. Selain penerbit, tidak sedikit juga toko buku independen yang cukup dikenal dan tentu saja – aku bisa pastikan – menjual buku original, ternyata berdomisili di Jogja. Sebut saja Buku Akik, Jual Buku Sastra (JBS) dan Buku Indie di antaranya.
Di sisi lain, banyak juga toko buku bajakan di marketplace yang ternyata berdomisili di DKI Jakarta. Sehingga penilaian berdasarkan daerah ini tidak bisa menjadi pegangan satu-satunya, melainkan hanya sebagai salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan saja.
Demikian tujuh ciri-ciri buku bajakan di marketplace yang harus kamu ketahui dan ingat-ingat sebelum membeli buku. Tulisan ini dibuat atas minimnya informasi atau edukasi yang khusus membahas ciri-ciri buku bajakan di marketplace. Tidak seperti menilai buku bajakan di toko buku seperti di Kwitang atau Blok M, butuh kejelian khusus dalam menilai buku bajakan tanpa harus melihat bendanya. Semoga tulisan ini dapat memberi sedikit pengetahuan dan menjadi pegangan jika kamu hendak membeli buku di marketplace namun masih ragu dengan reputasi toko tersebut.