Bookish Indonesia
Media Literatur & Perbukuan

Ada Kok Tulisan yang Jelek

Tulisan ini dipicu oleh pertanyaan (sekaligus pernyataan) pada akun Twitter Literary Base yang berbunyi “menurut aku pribadi, nggak ada yang namanya buku, puisi, ataupun karya seni yang ‘jelek’, tapi aku juga bingung apa dengan punya pendapat gini kita terkesan tertutup terhadap kritik?”

Pernyataan seperti yang dikirim oleh Sender tentunya muncul dengan niat baik untuk mengapresiasi semua karya buatan orang dan menghargai selera setiap pembaca. Biasanya pernyataan seperti itu diikuti dengan pernyataan lanjutan seperti “kalau aku nggak bisa menikmati buku A mungkin bukan karena bukunya jelek tapi karena bukan aku target pembacanya.” Aku pribadi sering menemukan opini tersebut, tidak hanya pada konteks buku, namun juga pada konteks lainnya seperti film dan musik.

ilustrasi buku jelek via LitReactor

Tidak ada yang salah dengan mengapresiasi karya dan menghargai selera pembaca lain. Tentu saja itu adalah hal yang baik dan sebuah sikap positif dalam menentang bookshaming. Namun pil pahit yang harus kita telan bersama adalah, bahwa karya yang buruk itu nyata adanya dan penilaiannya bisa dilakukan seobjektif mungkin dengan mengesampingkan selera subjektif.

Dalam tulisan ini aku akan menjabarkan beberapa aspek yang bisa kita perhatikan untuk menilai kualitas sebuah tulisan. Untuk mempersempit lagi, aku hanya akan fokus ke fiksi prosa. Prosa adalah genre fiksi yang berupa tulisan yang memiliki cerita dan tokoh, ditulis dalam bentuk paragraf. Yang termasuk ke dalam prosa adalah cerpen, novel, novella, dan novelet. Untuk puisi, aku rasa aku tidak memiliki pemahaman yang cukup untuk menilai kualitas puisi, maka aku nggak mau menyentuh itu dulu.

Fokus Penilaian

Dalam menilai sebuah prosa, sebagai pembaca awam kita bisa berfokus pada dua hal: konten dan bentuk. Konten atau isi dari sebuah tulisan adalah apa yang diingat oleh pembaca dari sebuah buku seperti premis cerita, penyusunan narasi, penokohan, sudut pandang, latar, logika imajinasi, dialog.

Sedangkan bentuk (form), sebagaimana namanya, hal ini mengesampingkan unsur intrinsik di atas tadi. Sebagus apapun narasi, pekohan, konsistensi, dan segala macamnya itu, tulisan akan menjadi buruk jika ditulis dengan bentuk yang buruk. Penilaian pada bentuk teks berfokus pada hal-hal editorial seperti penggunaan tanda baca yang benar dan sesuai panduan bahasa yang terbaru, penyusunan kalimat, jumlah kesalahan penulisan (typo), penggunaan kata baku dan tidak baku secara tepat, dan pemilihan diksi yang tepat.

ilustrasi buku jelek via HonestPublishing

Untuk menilai dari unsur form, aku rasa kita sesama pembaca sudah bisa melakukannya dengan baik. Panduan penilaiannya cukup jelas, yaitu PUEBI, atau panduan kebahasaan apapun yang sesuai dengan standar yang berlaku. Maka, pada tulisan kali ini aku hanya akan fokus pada cara menilai sebuah cerita dari unsur kontennya.

1. Premis cerita

Premis adalah kalimat singkat yang memberi gambaran tentang sebuah cerita. Biasanya terdiri dari tokoh, tujuan tokoh, dan hambatan yang dialaminya dalam mencapai tujuan tersebut. Contoh: Seorang pemuda desa yang ingin mengelilingi dunia dan menjadi raja bajak laut, namun ia sendiri tidak paham ilmu pelayaran, maka ia harus berusaha mengumpulkan kru kapal yang andal untuk membantunya berlayar di lautan yang dikenal kejam. Yup, kalimat tadi adalah premis cerita dari manga One Piece.

Momen ketika Luffy pertama kali berlayar di lautan

Premis tidak akan kamu dapatkan secara tersurat di buku manapun yang kamu baca. Premis baru akan kamu dapati setelah selesai membaca buku. Kalimat tersebut kamu susun sebagaimana apa yang kamu pahami setelah membaca. Premis ini juga biasanya disampaikan oleh reviewer buku di bagian awal review-nya.

Dalam beberapa kasus, kita bisa menilai kualitas buku tersebut hanya dari premisnya. Biasanya, buku yang bagus memiliki premis yang menarik. Namun hal ini tidak bersifat mutlak karena banyak sekali buku yang bagus dikembangkan dari premis yang bersifat klise atau umum seperti tentang dua anak sekolah yang saling benci namun perlahan menjadi dekat karena sebuah insiden.

2. Narasi

Narasi adalah serangkaian tulisan yang dipakai penulis untuk menceritakan sesuatu. Tentu saja prosa itu sendiri adalah sebuah narasi. Namun, narasi yang bagus itu yang bagaimana? Tidak ada rumus baku dalam menyusun narasi. Namun bagiku pribadi, narasi yang bagus adalah narasi yang memancing terbentuknya imajinasi. Saat kita membacanya, kita otomatis membayangkan adegan tersebut dalam otak kita. Sebaliknya, narasi yang buruk adalah yang membuat bosan dan tidak berhasil memancing imajinasi.

komponen narasi via Vectorstock

Penarasian yang baik juga dapat ditandai dengan penggunaan dialog yang efektif. Dialog adalah potongan percakapan antara dua orang atau lebih, atau juga potongan pemikiran tokoh dalam cerita. Ia tidak memuat percakapan “utuh” dari awal hingga akhir, namun hanya sepenggal yang memiliki fungsi terhadap cerita. Fungsi dialog yang baik adalah untuk memperlihatkan progres cerita atau memperlihatkan sifat tertentu dari tokoh. Dialog yang bertele-tele dan jalan di tempat adalah dialog yang buruk, tidak peduli seberapa menariknya dialog tersebut dibuat.

3. Penokohan

Jika tokoh adalah orang-orang yang terlibat dalam sebuah cerita, maka penokohan adalah bagaimana tokoh-tokoh tersebut dibangun. Penokohan adalah tentang sifat dan ciri khas dari masing-masing tokoh. Penokohan yang bagus adalah yang tidak hambar dan tentunya meninggalkan kesan pada pembaca. Kesan yang ditinggalkan tentunya tidak harus kesan positif seperti disukai dan dicintai.

Tokoh yang ditulis dengan penokohan yang baik juga dapat membuat pembaca sangat membencinya, seperti Dolores Umbridge. Penokohan yang hambar adalah penokohan yang tidak memperlihatkan ciri pembeda antara masing-masing tokoh sehingga kita sebagai pembaca kesulitan dalam mengidentifikasi mereka.

Dolores Umbridge adalah contoh tokoh fiksi dengan penokohan yang kuat

Dalam sebuah cerita, seorang tokoh utama diharapkan mengalami perkembangan karakter (character development), sifat khas tokoh bisa saja berubah seiring proses ini, namun bisa juga tetap. Misalnya, Hiccup dalam novel How to Train Your Dragon tetap kikuk sampai akhir novel, namun ia berubah dari penakut menjadi berani.

Proses perkembangan karakter tidak melulu harus terjadi dalam waktu yang lama. Novel yang memiliki latar dua hari saja, seperti The Catcher in The Rye, bisa menampilkan adanya character development dengan jelas dan baik. Menurutku, Holden Caulfield adalah salah satu contoh tokoh fiksi dengan penokohan yang sangat baik.

4. Konsistensi

Konsistensi tentunya diharapkan dapat terlihat pada berbagai aspek dalam sebuah tulisan. Yang biasanya selalu aku perhatikan adalah pada penokohan, latar, dan sudut pandang.

Pada penokohan, seperti sudah dipaparkan sebelumnya, jika seorang tokoh digambarkan kikuk, maka ia diharapkan tetap kikuk sesuai dengan karakternya hingga akhir cerita. Kecuali ada faktor yang merubah sifat tersebut dan memang perubahan sifat tersebut dibutuhkan untuk perkembangan cerita.

Inkonsistensi penokohan membuat kita sebagai pembaca kesulitan membedakan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Penokohan yang tidak konsisten juga membuat kita mudah lupa dengan tokoh tersebut.

Konsistensi latar sangat berpengaruh dalam membangun imajinasi pembaca. Jika sebuah cerita memilih mengambil latar waktu masa Indonesia pra-kemerdekaan, maka setiap aspek cerita harus konsisten dengan kondisi asli pada masa itu untuk mendukung latar tersebut, dari benda-benda yang digunakan, deskripsi pakaian tokoh dan deskripsi suasana.

Jika cerita itu tentang time travel, maka konsistensi terhadap satu konsep time travel juga sangat wajib. Ada banyak teori time travel di dunia ini, dan masing-masing teori tidak bisa dicampur-adukkan karena memiliki hipotesis dan logika yang berbeda. Inkonsistensi ini aku temukan pada beberapa cerita yang mengangkat tema lintas waktu dan itu sangat mengganggu cerita.

contoh konsep-konsep time travel pada beberapa cerita fiksi via YouTube MinutePhysics

Inkonsistensi juga dapat ditemukan pada penggunaan sudut pandang. Jika sejak awal menggunakan sudut pandang orang ketiga, maka tulisan tersebut harus tetap menggunakan sudut pandang orang ketiga, kecuali ada penanda perubahan sudut pandang dan memang dilakukan dengan tujuan tertentu. Penanda perubahan sudut pandang bisa berupa penggunaan font berbeda, pemisahan paragraf yang khas, pemenggalan berdasarkan bab, dan variasi lainnya. Kebocoran sudut pandang akibat ketidak-sengajaan dalam penulisan menyebabkan cerita menjadi cacat.

Aku pernah membaca sebuah dua novel dari penulis populer Indonesia dan menemukan kebocoran sudut pandang di kedua novel tersebut, yaitu yang semulanya menggunakan sudut pandang orang pertama namun tiba-tiba ia bisa mengetahui apa yang terjadi di luar pengamatannya dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Hal tersebut memberi pengalaman membaca yang buruk dan sangat mengganggu proses membaca.

5. Logika Imajinasi (logika bertutur)

Jangan percaya sama orang yang mengatakan, “namanya juga fiksi, gak perlu dipikirin pakai logika.” Prosa, meskipun bersifat fiktif atau rekaan, juga harus memiliki logikanya tersendiri. Logika imajinasi dari sebuah cerita biasanya kita dapatkan di bagian awal, atau di sepertiga pertama cerita. Logika imajinasi sebuah cerita tentu akan berbeda dengan logika imajinasi di cerita lainnya, meskipun mengangkat tema atau genre yang sama.

Aku ambil contoh Doraemon. Dalam cerita Doraemon, logika imajinasinya adalah Doraemon dapat menampung benda-benda futuristis di dalam kantong kecilnya karena terhubung dengan sebuah dimensi. Hanya itu kemampuan unik Doraemon yang menjadi “fakta” dalam cerita fiktif tersebut.

Akan menjadi aneh jika suatu saat Doraemon bisa memiliki tubuh yang elastis dan meninju Nobita dari jarak 3 meter dengan jurus Gomu-gomu no Jet Hawk. Meskipun secara imajinasi, kita bisa saja membayangkan Doraemon “mencuri” jurus Luffy, bagaimanapun caranya, namun hal itu melawan logika yang sudah ditetapkan pada awal cerita Doraemon.

ilustrasi Doraemon jika menjadi Luffy via Cartoonpics

Untuk mengidenfitikasi logika dalam cerita, pembaca harus memiliki kepekaan khusus. Satu-satunya cara untuk melatih kepekaan dalam melihat logika dalam cerita adalah dengan banyak membaca cerita dari berbagai genre dan premis.

Kaitannya dengan menilai baik/buruk sebuah karya, jika kita menemukan ketidak-kesesuaian sebuah adegan dengan logika imajinasi yang sudah ditetapkan di awal, maka itu adalah pertanda cerita tersebut adalah cerita yang buruk. Hal ini sebenarnya juga berkaitan dengan konsistensi.


Itu tadi 5 unsur konten yang bisa menjadi fokus kamu saat ingin menilai kualitas sebuah cerita fiksi. Setelah bisa menilai kualitas sebuah cerita dengan menggunakan 5 tolok ukur di atas, akan lebih mudah untuk kita jika ingin membuat sebuah ulasan, atau memberikan rating terhadap buku yang kita baca. Pengalamanku, sih, menilai sebuah buku secara kritis dapat memberi sensasi kenikmatan dan kepuasan tersendiri.

Sebagai penutup tulisan ini, aku ingin kembali menyampaikan sebuah pesan sederhana. Meskipun kita menemukan sebuah buku berkualitas jelek, adalah sikap yang tidak bijak jika kita juga menjelek-jelekkan orang yang membaca buku tersebut.

Biarkan orang lain dengan buku dan selera bacaannya. Jika mereka senang membaca buku tersebut, maka bukan hak kita untuk mengatur apa yang harus mereka baca. Simpan saja penilaianmu terhadap sebuah buku untuk dirimu sendiri, atau bagikan jika memang dirasa perlu tanpa merendahkan pihak manapun. Selamat menikmati buku!

Ditulis oleh: 6

Your gondrong book reviewer <3

Leave a Reply

Your email address will not be published.