Bookish Indonesia
Media Literatur & Perbukuan

Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 – Novel Anti Patriarki namun Tidak Menggebu-gebu

Novel Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 bercerita tentang kehidupan Kim Ji-yeong seorang perempuan dewasa yang mengalami gangguan kepribadian karena berbagai perlakuan diskriminasi yang ia peroleh sedari kecil hingga usia 30-an. Diskriminas-diskriminasi tersebut ia peroleh semata hanya karena ia adalah seorang perempuan.

Sampul novel Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 terbitan GPU

Sebelum memasuki isi resensi, saya biasa mengawali sebuah resensi buku dengan membahas desain sampulnya terlebih dahulu. Menurut saya, sampul sebuah buku tidak bisa dilepaskan begitu saja dari isi bukunya, karena sering kali calon pembaca bisa mulai meraba-raba tentang apa yang akan ia dapatkan dari sebuah buku hanya dengan melihat desain sampulnya.

ilustrasi sampul novel Kim Ji-yeong di beberapa negara yang memiliki pola ilustrasi yang serupa

Ilustrasi sampul novel Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 versi yang saya miliki ini berupa lukisan cat air digital yang menampakkan wajah seorang perempuan – kemunginan besar adalah Kim Ji-yeong – namun tidak secara utuh atau tidak berwajah sama sekali. Bagi saya, ilustrasi ini menggambarkan sosok perempuan yang belum mencapai keutuhan diri akibat selalu dipandang sebelah mata oleh masarakat yang menganut sistem patriarki. Ilustrasi sampul ini dengan akurat merepresentasikan keresahan yang disampaikan Cho Nam-joo melalui cerita di buku ini.

Bicara tentang ilustrasi sampul, novel Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 versi terjemahan dari beberapa negara lain pun memiliki konsep desian sampul yang senada, yaitu tidak menampakkan wajah secara utuh atau malah kosong sama sekali. Sepertinya, selain menggambarkan sosok perempuan yang tidak utuh, ilustrasi tersebut juga menggambarkan wajah Kim Ji-yeong sebagai template kosong yang bisa diisi atau disubstitusi dengan wajah perempuan manapun, karena pengalaman pahit Kim Ji-yeong adalah juga pengalaman pahit banyak perempuan di dunia ini.

Novel ini diawali dengan prolog yang menarik dengan latar waktu era modern ini dan menceritakan kondisi mental Kim Ji-yeong yang tidak stabil. Sebuah pancingan yang baik dan efektif untuk membuat pembaca tetap bertahan karena penasaran dengan apa yang menimpa Kim Ji-yeong. Modal rasa penasaran itu menuntun pembaca untuk terus membaca bukunya demi mengetahui apa penyebab ketidak stabilan mental Kim Ji-yeong. 

Berbeda dengan novel-novel lain yang memuat isu diskriminasi gender yang tokoh utamanya biasanya bersifat vokal dan progresif, sosok Kim Ji-yeong sebagai tokoh utama tidaklah terlalu menarik perhatian dan tidak mencolok. Ia tidak memiliki sifat pemberontak (rebel) meskipun sering mengalami diskriminasi. Alih-alih, perlawanan Kim Ji-yeong berhenti hanya sampai di pikiran saja, tidak terucapkan dan tidak terlaksanakan. Pada akhirnya, Kim Ji-yeong memilih diam dan mengabaikan.

Film adaptasi Novel Kim Ji-Young yang bisa ditonton di layanan online streaming

Tetapi, justru hal itulah yang membuat novel ini menarik. Karena ia menjadi representasi banyak perempuan lainnya yang, karena berbagai pertimbangan, cenderung memilih diam ketika mengalami pelecehan dan diskriminasi. Tentu saja pertimbangan terbesar adalah eksistensi budaya patriarki itu sendiri yang sudah mengakar kuat, sehingga pelecehan dan diskriminasi dianggap sebagai suatu hal yang normal. Kim Ji-yeong sekali lagi menjadi ‘wajah’ perempuan-perempuan korban diskriminasi, tidak hanya di Korea Selatan, namun di seluruh dunia.

Penggambaran situasi diskriminatif yang menimpa Kim Ji-yeong sangatlah realistis, bahkan tidak sulit untuk ditemukan di drama-drama produksi Korea Selatan. Sehingga, tidak mengherankan jika banyak pembaca perempuan yang merasa memiliki koneksi dengan novel ini, atau istilah yang menjadi tren sekarang, relatable. Meskipun, sebagai pembaca laki-laki, kejadian tersebut tidak terhubung secara langsung dengan pengalaman saya, namun cara Cho Nam-joo menggambarkan setiap diskriminasi yang dialami Kim Ji-yeong berhasil membuat saya juga merasa emosi dan miris.

Pembagian bab di novel ini sangat unik. Cho Nam-joo menggunakan rentang tahun sejak 1982 sebagai penanda bab baru, 1982-1994, 1995-2000, 2001-2011, 2012-2015, dan tahun 2015 sebagai prolog serta tahun 2016 sebagai epilog. Saya rasa pembagian ini tidak dilakukan secara acak, melainkan sebuah pesan tersembunyi dari penulis. Yang bisa saya tangkap adalah, Cho Nam-joo ingin menyampaikan argumen bahwa diskriminasi yang timbul akibat budaya patriarki di Korea Selatan tidak hanya terjadi di era masyarakat konservatif (yang diwakili dari tahun 1982-1994), namun juga masih langgeng dan masih terjadi hingga era milenial seperti sekarang ini. Langgengnya budaya patriarki dan diskriminasi terhadap perempuan juga diperlihatkan lagi oleh penulis pada adegan ironis di epilog novel ini.

Ilustrasi perempuan dalam kekangan diskriminasi
Photo by Anna Shvets on Pexels.com

Epilog novel ini sangat menggelitik sekaligus membuat saya resah karena lagi-lagi menunjukkan fakta bahwa budaya patriarki sudah tertanam begitu dalam di tengah masyarakat melalui pemikiran sang narator (saya tidak menyebutkan siapa, karena tentu akan menjadi spoiler) yang saya yakin muncul secara tidak disengaja. Pernyataan pendek sang narator pada epilog tersebut seolah menjatuhkan kita sekali lagi, setelah sebelumnya seperti memberikan secercah harapan berupa narasi simpatik dari orang yang sama di awal-awal epilog. Hal ini menjadi menarik, karena artinya, novel ini berhasil membuat pelintiran yang tidak terduga dan dengan itu membuat beberapa pembaca, lagi-lagi, sakit hati.

Kondisi akhir dari konflik kepribadian Kim Ji-yeong yang terkesan tidak diselesaikan juga sangat mungkin menimbulkan rasa kesal bagi beberapa pembaca yang mengharapkan akhir yang bahagia untuk kisah Kim Ji-yeong. Namun, saya dapat menerima bentuk akhiran terbuka ini karena bisa menjadi kesempatan bagi pembaca untuk menentukan sendiri nasib Kim Ji-yeong sebagaimana yang diinginkan di dalam pikiran mereka masing-masing. Cho Nam-joo jelas tidak ingin menjadi penulis dictator yang mendikte pembaca dalam menentukan nasib Kim Ji-yeong.

Jika dilihat dari sudut pandang lain, kondisi mental Kim Ji-yeong saat itu sesungguhnya juga merupakan sebuah kesempatan baginya untuk, akhirnya, bisa menyampaikan segala keresahannya terkait diskriminasi yang dialami oleh perempuan, termasuk dirinya. Jika kita memilih melihat dari sisi ini, bukankah novel Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 ini ditutup dengan sangat apik? Dengan sebuah perkembangan karakter yang, melalui luapan hasil represi di alam bawah sadar, akhirnya melakukan perlawanan?


Saya memberi nilai 4/5 untuk novel Kim Ji-yeong lahir tahun 1982. Novel ini sangat cocok untuk laki-laki dan perempuan dewasa yang suka, melek, dan tertarik dengan isu kesetaraan gender. Novel ini bukanlah tipe novel progresif yang menggebu-gebu dan menyampaikan kritik secara lantang bak aktivis yang memegang pengeras suara. Alih-alih, novel ini lebih ingin mengajak pembaca untuk merenungi cerita yang dibawanya dan introspeksi diri, “apakah selama ini kita berada pada posisi korban?” “Atau bahkan justru di posisi pelaku diskriminasi namun tidak menyadarinya?”

Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 adalah tipe novel yang memancing diskusi lebih lanjut. Novel ini bukanlah puncak dari sebuah diskursus, justru pancingan awal untuk berkembangnya sebuah diskursus. Banyaknya catatan kaki dari sumber asli yang menjadi data rujukan penulis dalam membangun narasinya juga merupakan bentuk keseriusan penulisan untuk menjadikan novel ini sebagai pemicu diskusi lebih lanjut.

Ditulis oleh: 6

Your gondrong book reviewer <3

Leave a Reply

Your email address will not be published.