Sebuah daerah sudah seharusnya memberikan ruang bagi manusia untuk menggunakan daya pikir mereka dengan semestinya, bukan melulu menyediakan ruang untuk perlombaan validasi melalui media sosial.”
Selamat datang di abad modernisasi. Era di mana segala sesuatu dapat diakses hanya dengan ponsel dalam genggaman. Bermodalkan ratusan ribu rupiah, maka seseorang dapat menelusup ke dalam hiruk pikuk dunia serba ada, yang bernama internet. Satu dua orang mungkin dapat menemukan kenyamanan di dalamnya, saling sapa sahabat maya, mengintip inspirasi tak terbatas dari belahan dunia manapun, ataupun saling debat menelanjangi argumen masing-masing.
Di tengah derasnya informasi dan lautan inspirasi, ada satu hal yang kerap luput dalam benak masing-masing; perpustakaan. Tidak asing, memang, namun jarang sekali terucap dalam percakapan orang-orang, yang mengklaim dirinya, haus pengetahuan. Sebelum berpendapat lebih jauh mengenai keberadaan perpustakaan, mari tarik garis besar dari apa dan mengapa sebuah pendidikan literasi dan informasi harus dipelihara dengan baik.

Tiap-tiap manusia memiliki kemampuan kognitif yang berbeda-beda. Kemampuan kognitif tadi dapat dijabarkan sebagai sebuah konstruksi proses berpikir, termasuk mengingat, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Lalu apa hubungan kemampuan kognitif seseorang dengan perpustakaan? Di sini, mari telaah lebih lanjut tentang apa itu literasi. Pendidikan literasi, dahulu hanya berada di tahap “menulis dan membaca”. Apapun kegiatan menulis dan membacanya, dapat disebut dengan pendidikan literasi.
Tidak ada yang salah dengan persepsi tersebut, pun memang benar secara literal, namun, ketika ilmu mengalami perkembangannya sendiri, pendidikan literasi mengalami perluasan makna menjadi sebuah prolog dalam memulai segala kemampuan. Misalnya, ketika seseorang mempelajari ilmu finansial dan dapat menguasainya dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut sesungguhnya memiliki kemampuan literasi finansial yang baik. Begitu pula dengan matematika, sains, dan ilmu lainnya. Hemat saya, segala ilmu yang dapat dipelajari seseorang, ada baiknya harus dibuka dengan pendidikan literasi terlebih dahulu.
Menjadikan pendidikan literasi sebagai pondasi pada tiap ilmu, tentunya dapat memberikan banyak sekali manfaat pada diri, di antaranya adalah kemampuan kognitif tadi. Kemampuan kognitif ini juga yang tentunya akan berguna pada manusia di sepanjang hayatnya, apalagi di era serba canggih sekarang ini, di mana setiap manusia dapat mengakses ribuan informasi dalam sekali sentuh.
Memelihara dan mengembangkan pendidikan literasi bukanlah hal yang mudah, namun juga bukan hal yang rumit. Perlu stimulus berupa bahan bacaan yang beragam–mulai dari yang dapat dinikmati, hingga yang dapat membuat alis berkerut. Mudah untuk memulainya, tetapi menjadi rumit jika harus dibarengi dengan sikap konsistensi. Iya, saya tau, bersetia untuk membaca adalah hal yang cukup kompleks. Pekerjaan dan rutinitas juga kerap menjadi alasan.

Banyak sekali hal yang bisa dilakukan dan, ya, mungkin lebih menguntungkan dari sisi keuangan, lantas mengapa harus terus memelihara kegemaran membaca dan menggali kebenaran informasi? Tentu jawabannya juga ada pada genggaman saya, kamu, dia, dan mereka saat ini. Aliran informasi yang teramat deras kerap membuat seseorang menjadi gamang dalam menentukan mana informasi yang bisa dikategorikan fakta dan mana yang hanya dibuat untuk menaikkan popularitas sebuah artikel; mana informasi yang dapat memberikan manfaat dan dijadikan santapan otak; mana informasi yang sungguh-sungguh hanya ingin menggelitik publik dengan membeberkan rahasia seorang selebriti yang tidak bisa mengupas buah salak, atau lebih buruk lagi, informasi yang memancing emosi dan membuat persepsi buruk terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat. Jika dilihat secara makro, memiliki gawai rasanya seperti memiliki pisau di tangan – bisa membunuh orang lain dan juga bisa membunuh diri sendiri. Di sinilah kemampuan kognitif berperan vital, di sini pula peran penting dari pendidikan literasi yang baik dapat terlihat.
Perlu diamini bersama bahwa, tentu saja, gawai bukanlah tokoh antagonis dalam hal ini. Berjuta manfaat masih bisa didapatkan jika – kembali lagi – orang tersebut memiliki pendidikan literasi yang baik dan terpelihara. Kemudian, dari mana seseorang bisa mendapatkan pendidikan literasi secara mandiri dan minim distorsi dunia maya? Ya, dari sebuah tempat konvensional nan padat ilmu bernama perpustakaan. Tentu tidak perlu melabeli diri sendiri sebagai kutu buku untuk dapat menjelajah perpustakaan.
Tempat ini terbuka bagi siapapun yang ingin bermesraan dengan buku dan ragam informasi. Bagi saya sendiri, membenamkan diri dalam perpustakaan adalah sebuah katarsis – sarana melepas ketegangan dan kecemasan. Perpustakaan, di benak saya, rasanya seperti ibu yang merindukan anaknya yang sudah lama bergulat di tengah keriuhan metropolitan. Ia menyambut, mempersilakan,dan menerima saya dengan terbuka, tanpa distorsi, dan apa adanya. Ia juga sepertinya merindukan saya mendatangi dan menjamahnya, kemudian mnenggelamkan diri di dalam buku-buku lawas dan anyar. Menjelajah hidup dari abad tertentu ke abad yang lain.

Di dalamnya, waktu dan jarak seperti melebur. Saya dapat membawa diri saya ke era Jakarta tahun 60-an ketika membaca buku dengan latar tahun tersebut, lantas 30 menit kemudian saya sudah terlempar di era Indonesia tahun 80-an. Hanya dengan berlembar halaman dari buku-buku, tentunya. Perpustakaan, seperti mengumpulkan segala adegan yang ada di bumi ini. Ia menyatukannya dalam sebuah wadah dan menguncinya rapat-rapat. Setelahnya dapat dibuka kembali oleh siapapun yang merindukan ilmu-ilmu tersebut.
Terlepas dari besar-kecil ukurannya, sebuah perpustakaan layak mendapat segala apresiasi. Ia harus berdiri kokoh di tengah modernisasi dan kerumunan orang yang berorientasi untuk menjadi visioner. Perpustakaan harus tetap berdiri mandiri dengan menyediakan segala macam ilmu dan budaya dari beragam zaman. Ia bisa menjadi pengingat tentang keburukan sebuah sejarah, pun dapat menyediakan gambaran masa depan yang dibicarakan para futurologi. Singkatnya, perpustakaan menyimpan peradaban dan menjadi pusat budaya yang abadi melalui ragam bukunya. Sejak ribuan abad silam, tidak sedikit perpustakaan yang dibakar, dihancurkan, atau dimusnahkan.
Mungkin banyak spekulasi dan skeptisme mengenai alasan penghancuran sebuah perpustakaan, namun ada satu yang sangat saya percayai; bahwa peradaban dimulai darinya. Sederhananya, jika segerombol orang menjajah sebuah kota, penting baginya untuk bisa berkuasa secara tunggal. Mereka dapat memulai rezimnya dengan membakar buku atau manuskrip sejarah dan budaya yang sudah berusia puluhan, bahkan ratusan tahun bersemayam dalam perpustakaan. Setelah sebuah kota kehilangan “sejarah” sekaligus “budayanya” melalui perpustakaan, maka para pemusnah tersebut dapat memulai peradaban baru dengan menulis buku atau manuskrip yang berawal dari peradaban mereka. Itu adalah hal paling masuk akal yang pernah saya baca di buku kumpulan esai Dea Anugrah berjudul “Hidup Begitu Indah, dan Hanya Itu yang Kita Punya” yang diterbitkan Mojok pada 2019.

Penghancuran perpustakaan adalah kejahatan bersejarah yang memusnahkan sejarah. Setiap manusia seharusnya memang memiliki akses mudah dan dekat untuk menggali ilmu. Idealnya, perpustakaan harus hadir di tengah kehidupan mereka. Biarkan setiap orang mencari muara ilmu masing-masing di dalam tumpukan buku perpustakaan. Sebuah daerah sudah seharusnya memberikan ruang bagi manusia untuk menggunakan daya pikir mereka dengan semestinya, bukan melulu menyediakan ruang untuk perlombaan validasi melalui media sosial. Ingat, melestarikan pustaka sama saja dengan memelihara peradaban yang sarat sejarah dan budaya. Yang fana adalah waktu, perpustakaan abadi.