Bulan Juni 2021 lalu, kami membaca satu buku menarik dari penulis Jepang bernama Yosimoto Banana yang berjudul Kitchen. Buku ini menceritakan tentang remaja yang berkonflik dengan duka dan kesedihan, diceritakan dengan sangat sederhana namun menyentuh. Isu kesedihan dan unsur dapur yang menjadi sorotan pada novela Kitchen menimbulkan beberapa pertanyaan di kepala para mimin Bookish Indonesia.
Melalui Penerbit Haru, yang menerbitkan buku Kitchen ini dalam versi bahasa Indonesia, kami berhasil menyampaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada Yoshimoto Banana sensei.
Hal pertama yang kami tanyakan adalah “di kedai apa Eriko-san bekerja?” Banana sensei menjawab bahwa Eriko-san bekerja di gay bar. Gay bar sendiri sama seperti bar pada umumnya, namun menekankan pada inklusifitas gender. Gay bar biasanya juga menjadi tempat berkumpul dan berinteraksi yang aman bagi komunitas LGBTQ+. Mengingat Eriko-san sendiri adalah seorang transgender, maka tidak aneh rasanya jika ia bekerja di sebuah gay bar.
Pembaca dari Indonesia mungkin kesulitan mengimajinasikan atmosfer sebuah gay bar karena hal itu masih belum berterima secara umum di tengah masyarakat. Namun, suasana di gay bar sebenarnya tidak jauh berbeda dari bar pada umumnya: remang, lampu warna-warni, musik elektronik, serta orang-orang minum dan berdansa.
Kami kemudian bertanya mengenai dapur, salah satu unsur yang menjadi sorotan dalam cerita Kitchen. Di novela, Sakurai Mikage si tokoh utama diceritakan menyukai segala jenis dapur baik itu yang bersih dan rapi, maupun yang kecil dan berantakan. Selama itu adalah dapur, selama itu adalah tempat memasak, maka Mikage menyukainya. Namun, kami bertanya-tanya, apakah ada satu jenis dapur yang Mikage tidak suka?
Menurut Banana sensei, “Mikage tidak suka dapur yang jarang dipakai oleh orang.” Banana sensei memang tidak menjabarkan lebih lanjut mengapa Mikage tidak suka dapur yang jarang dipakai, namun sepertinya kami bisa menebak alasannya. Mikage menyukai dapur bukan karena tempatnya atau karena perabotan yang ada di dalamnya, melainkan karena fungsinya sebagai tempat masak. Dapur sebagai tempat mengolah bahan mentah menjadi makanan yang dengan menyantap makanan tersebut orang akan menjadi bahagia.
Di saat sebuah dapur jarang dipakai, maka ia akan kehilangan fungsinya tersebut, dan tempat itu tidak lagi menjadi sumber kebahagiaan. Awalnya kami menduga bahwa dapur yang tidak disukai oleh Mikage adalah dapur yang tidak ada. Namun tentu saja jawaban dari Banana sensei lebih beralasan dan lebih jelas dibandingkan dugaan kami yang terlalu abstrak dan filosofis, hahaha.

Setelah bertanya tentang dua latar tempat yang mencolok dalam novela Kitchen, kami kemudian beralih ke topik dan isu di dalam buku Kitchen. Banana sensei mengeksplorasi pengalaman-pengalaman duka dan memuat luapan emosi-emosi sedih tersebut di dalam paragraf yang ditulisnya. Hal ini memancing kami untuk bertanya perihal sumber inspirasi beragam pengalaman duka tersebut.
Banana sensei menjawab, “saya banyak membayangkan bagaimana kesedihan orang lain bekerja. Saya selalu memikirkan kira-kira apa yang saya rasakan jika itu terjadi pada saya.” Sebagaimana yang kita harapkan dari seorang penulis, Banana sensei tentu melakukan observasi untuk menulis ceritanya, dan sepertinya ia fokus pada observasi emosi kesedihan dan duka dalam menciptakan novela Kitchen ini.
Lalu tentang emosi itu sendiri yang menjadi sorotan utama dari novela Kitchen, kami bertanya, “mengapa menurut anda penting rasanya untuk menekankan konflik emosi Mikage sebagai konflik utama di dalam cerita anda?” Pertanyaan ini kami tanyakan karena kami tidak melihat Mikage berkonflik secara serius dengan orang lain atau dengan dunia, ia justru berkonflik dengan diri dan emosinya sendiri. Kami rasa itu adalah hal yang menarik dan khas.
Menurut banana sensei, masa muda adalah masa yang penuh konflik, karena anak muda percaya bahwa mereka mempunyai banyak sekali pilihan. Banana sensei kemudian menambahkan bahwa ia ingin sekali menulis tentang orang-orang yang bisa melihat peluang-peluang baru meski batin mereka berkonflik. Karena, menurutnya, “mempersempit pilihan-pilihan itu tidak baik.”
Tema remaja yang berkonflik dengan diri sendiri kami rasa adalah tema yang khas dalam karya sastra yang menceritakan kisah seorang anak muda. Pencarian jati diri menjadi alasan utama seorang pemuda berkutat dengan dirinya sendiri, sebelum kemudian menjadi dewasa dan siap untuk berkonflik dengan orang lain atau dengan dunia.
Sakurai Mikage sendiri berkonflik dengan emosi sedihnya, akibat ditinggal mati oleh neneknya dan kemudian ibu dari sahabatnya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Pergulatan batin yang ia alami adalah untuk tetap menemukan kebahagiaan dan alasan menjalani hidup setelah mengalami kedukaan.
Dan Mikage, seperti yang diucapkan oleh Banana sensei, sama sekali tidak mempersempit pilihan-pilihan hidupnya dengan melakukan apapun yang menurutnya perlu ia lakukan, seperti menangis meraung-raung di tengah gang kecil remang-remang, atau melakukan perjalanan lintas kota di tengah malam dengan taksi ‘hanya’ untuk mengantarkan seporsi Katsudon untuk orang yang dicintai. Ia sama sekali tidak mempersempit pilihan-pilihan yang ia punya.

Tanya-jawab kami bersama Yoshimoto Banana memang singkat dan tidak juga dilakukan secara langsung, karena melalui perantara Penerbit Haru. Namun, dalam menulis artikel ini, saya yang ikut berkontribusi menyumbang beberapa pertanyaan di atas tetap dapat merasakan kehangatan dari percakapan singkat kami. Semoga dengan membaca tulisan ini, dan tentunya setelah membaca novela Kitchen, teman-teman pembaca juga bisa merasakan kehangatan yang kami rasakan.
Kami dari Bookish Indonesia tentunya sangat berterimakasih kepada Penerbit Haru yang telah memberi kesempatan berharga ini, dapat menyampaikan pertanyaan kami kepada penulis yang bukunya kami baca dan kami sukai, sehingga tulisan ini bisa diproduksi. Kami harap usaha-usaha seperti ini dapat memancing diskusi yang lebih luas lagi di tengah ekosistem literasi di Indonesia.